Teruslah Mendayung Sampan
Mengawali tulisan yang campur-aduk ini aku teringat tujuh tahun silam, ketika itu aku masih sangat kurang kental berbicara bahasa Indonesia secara baik dan benar. Ya, Maklum saja lah dasar orang kampungan yang hari-harinya cuma bisa berinteraksi dengan satu bahasa yaitu bahasa Endatu. Aku tetap bangga dengan bahasa Endatu-ku, meskipun kawan-kawan lain yang satu asrama ketika itu, semua mereka orang yang sudah terlatih waktu kanak-kanaknya dengan bahasa Indonesia baik dan benar.
Ceritanya begini, pada hari ke-dua berlangsungnya testing penerimaan santri baru, tepatnya usai pelaksanaan salat shubuh di mesjid At-Taqwa YPUI, tiba-tiba aku dikejutkan dengan sebuah pertanyaan yang tidak kupahami kala itu. “Kamu Kenapa terlambat salat Nak?”. Tanya seorang pembina padaku di hadapan peserta testing lainnya. “Apa……?? Kamuuuu………..”. Jawabanku yang disambut dengan tawa mereka hadir jamaah subuh itu. Aku terdiam bukan bisu. Yang hanya terbesit di benakku “Jeih kok i kheim awak nyoe, peu karna loen salah jaweub kadang”. Tanyaku pada diri sendiri.
******
Tiga hari berturut-turut, testing keterakhir kalinya di laksanakan dengan penginapan peserta di asrama pun selesai. Hari ke-tiga ini agak sedikit meyakinkan ketimbang hari-hari sebelumnya, karena pada hari ke-tiga materi yang diujiankan adalah hafalan Al-Qur’an. Entah kenapa hari terakhir ini firasatku lain; “Jikalau memang aku lulus test nantinya, pasti dengan bermodal hafalan”. Papar hati kecilku sambil megangkat sisir di hadapan cermin. Lagi pun teringat pesan ibunda di kampung halaman; “Menyoe ikoet sipeu-peu harus yakin. Ngoen beik teuwo meudoa keu poe Rabbana”.
Beberapa minggu kemudian hasil testing diumumkan di harian Serambi Indonesia. Ternyata aku diterima di dayah yang letaknya di tengah-tengah kota ini. Dalam pengumuman disebutkan, semua yang lulus diwajibkan untuk memasuki asrama tiga minggu ke depan setah pendaftaran ulang.
Sambil menunggu kiriman uang untuk pendaftaran ulang, aku menghabiskan hari-hariku dengan mencoba bergaul dengan mahasiswa sekampung di Darussalam. Kami tinggal di sebuah gebuk persinggahan yang letaknya tidak begitu jauh dari kampus jantong hatei masyarakat Aceh itu. Gebuk yang hanya apa adanya telah menghiasi kepribaianku. Mulai dari cara mengatur waktu sampai dengan cara masak buu. Pernah dulu, ketika aku rindu keluarga di kampung halaman, kucoba tuangkan rindu itu dalam sepucuk surat yang akan dibawa pulang oleh abang-abang yang akan pulang. Tujuanku cuma ingin megungkapkan kerinduan, meski pada akhirnya juga ingin meminta dikirimkan uang untuk pendaftaran ulang.
Hari pun berlalu kini tiba waktunya memasuki asrama. Menempuh awal dari pendidikan tingkat pertama setelah melatih diri di perkarangan mahasiswa. Kutancap niat seraya mengingat pesan ibunda tadinya sudah duluan pulang ke kampung halaman sebelum aku bergabung dengan mahasiswa. Sesampai di perkarangan salah satu asrama, kutoreh di ujung sana ada santri-santri baru lain sedang meratap tangisan pada keluarga masing-masing. Karena mereka akan ditinggalkan oleh orang tuanya yang selama ini mendidik mereka. Lain dengan kiprah diriku yang tak tahu pada siapa akan kuratapi tangisan kalbu. Rencananya mau menangis di hadapan abang sepupuku, tapi aku takut malu. Jangan-jangan ditertawakan lagi olehnya. Terpaksa aku menahan air mata yang mulai jatuh membasahi muka.
Hari pertama masuk asrama mejadi kesan tersendiri bagiku. Betapa indahnya hari itu, hampir 20 orang teman kukenali dari berbagai kabupaten di Aceh ini. Kami pun mulai bergaul sama-sama, dengan tujuan juga sama-sama menuntut ilmu. Begitulah hari-hari seterusnya kami lalui hingga nama teman satu-persatu lekat di benak sendiri satu sama lainnya.
Dua tahun kemudian kami sudah kelas tiga. pertanda jenjang pendidikan tingkat pertama akan berakhir. Wah….!! Tanpa terasa dua tahun sudah persaudaraan kita sudah terbina. “Nantinya semua kalian akan berpisah untuk sementara. Namun jangan lah diantara kalian memutuskan tali persaudaraan yang sudah beberapa tahun terajut”. Pesan seorang guru setelah membaca potongan ayat Al-Qur’an; ” Dan berpegang teguh lah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu mendapat petunjuk”. (Q.S Ali Imran: 103). Ruangan kelas terasa nyaman tanpa ada satu suara pun yang terdengar selain nasehat emas dari sang guru tadi. tampak semua siswa kelas kami sedang kusyu’ sambil men-tadabburi ayat-ayat Allah yang menjelaskan pentingnya menyambung tali silaturrahmi.
******
Alhamdulillah… Tingkat menengah pertama lulus sudah, banyak kenangan yang bisa dikisahkan, kini beranjak tingkat menengah atas. Istilahnya bagai sangsaka yang sedang dikibarkan masih di tengah tiang. Masa-masa untuk menentukan arah dan tujuan yang akan membawa kecemerlangan di perkuliahan nantinya.
Romantika masa lalu terasa begitu indah dan mengagumkan jika dikenang. Ketika itu tali silaturrahmi semakin terajut, bahkan rasanya tidak berlebihan untuk mengibaratkan tali itu telah sedikit demi sedikit membentuk sampul yang siap mengikat kuat benda-benda yang kurang tegak. Selesai makan pagi, siang, malam saling bersinggahan antara satu atau beberapa orang ke penghuni asrama lainnya. Ini menjadi bukti nyata bahwa, dulunya kita sama-sama mendayung sampan menuju ke pulau yang sama juga. Yang pastinya dinahkodai oleh pawang yang satu juga; Dayah Modern Darul Ulum. Hal ini terus berkesianmbungan dengan satu tekad“sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”. Dengan kata jika sudah sepadan sama-sama menggalakkan, dua atau tiga pekerjaan akan terselesaikan, di sinilah titik temu kita dipersatukan dengan menggalakkan silaturrahmi. Pada pertengahan tahun 2009 belum lagi sampai ke pulau impian itu, sudah ada embel-embel akan ada balok-balok tegak yang menghalangi jalannya sampan tersebut.
Dalam renungan pribadi di malam yang sunyi, penulis sempat bertanya pada diri sendiri, Siapa yang menebang pohon besar itu, lalu ia menjadi balok penghalang sampan yang pernah sama-sama dulunya kita tumpangi?. Apa yang menjadi alasan dibalik timbulnya balok besar yang cukup membahayakan itu? Apakah balok itu bermunculan hanya sesaat?, ataukah dia akan tegak sendirinya tanpa ada bantuan pihak lain?. Hingga menjelang adzan subuh berkumandang penulis masih berusaha menerka.
Jika memang penebang pohon besar itu “Illegal logging”, apakah susah kita saling mengingatkan-(Illegal Logging itu berdampak mudharat bagi masyarakat)- satu-sama lain selama dia masih sefikrah dengan kita?, ukhwah yang patut kita unggulkan adalah dengan tetap mengedepankan tali persaudaraan dan silaturrahmi. Hendaknya kita kita terus bersama melilitkan, merajut sampul. Dan juga kita persiapkan langkah untuk memidahkan balok-balok besar itu menuju ke fikrah yang satu. Nah..!! Dengan itu sampan akan lebih terarah dan melaju dengan santai tanpa rintangan.
Beranjak dari fenomena yang penulis dengar dari kawan-kawan selama ini. “Ada beberapa orang kawan kita yang tidak peduli bergaul lagi dengan kawan lama”. -(kiranya benar demikian)-. Penulis sendiri dari lubuk hati yang paling dalam merasa sangat sedih. Apakah persaudaraan dan silaturrahmi itu hanya berlaku sesaat saja, atau lebih sempit lagi hanya butuh kepada teman di saat perlu saja, sehingga dampak akhirnya tidak ideal alias jadi tidak kenal-mengenal lagi. Sekurang-kurangnya, jika memang kecil harapan tidak bisa bertatap muka, kita pergunakan saja jejaring sosial yang telah ada. Minimal, sekali-kali ketika online sempat lah bertanya satu sama lainnya ” Kiban Haba?”.
Di saat terus merenung dan menerka, akhirnya penulis berkesimpulan bahwa masalah yang sesungguhnya terletak pada egoistis dan kemalasan kita untuk membangun komunitas antar sesama, dengan kata lain tidak ada lagi keinginan untuk bersama-sama seperti dulunya. Sifat yang seperti ini lah semestinya kita jauhkan segera dari ruang lingkup gerak kita. Idealnya lagi, sampan yang sudah sekian hari kita dayung itu, kalau misalnya dalam perjalanan menuju ke sebuah pulau indah (katakan sajak Pulau Weih) terjadi bocor kecil, cepat-cepat lah kita tempel dengan damar yang bermutu akhlak dan sopan santun sesama kita. Teruslah mendayung sampan sampai pada pulau impian, yang akan membawa berkah dengan tetap mengedepankan tali persaudaraan di jalan Allah.
Tulisan ini penulis garap dengan tujuan untuk mengistrospeksi penulis sendiri. Kalau memang di dalamnya ada nilai-nilai yang patut kita lestarikan, semua ini penulis hadiahkan buat kawan-kawan seperjuangan sekalian. Jika suatu hari pembaca mendapat kabar penulis sudah duluan menghadap pada Ilahi Rabbi. Dengan segala kerendahan hati penulis memohon maaf kepada pembaca sekalian, jikalau ada kata-kata yang tersinggung hati juga dengan hadirnya tulisan ini.
Wallahu A’lam Wanisbatul Ilmi Ilaihi Aslam
* Tulisan campur-aduk ini kupersembahkan buat kawan-kawan seperjuanganku di Dayah Modern Darul Ulum (Dheugenerasi14.com) yang telah mewarnai hidupku.
Cairo, 23 Februari 2012 M
30 Rabiul Akhir 1433 H
No comments